Senin, 08 Agustus 2011

Perbedaan Ekonomi Islam dengan Ekonomi Konvensional

Sekitar tahun 1998, ekonomi islam mulai masuk ke Indonesia. Ini ditandai dengan berdirinya salah satu bank islam. Seiring waktu berjalan terutama ketika krisis global yang terjadi tahun 2010 dan suksesenya ekonomi  islam yang tidak terlalu terpengaruh oleh krisis global membuat banyak pasang mata yang tidak memandang sistem ini dengan sebelah mata lagi. Dari periode tersebut hingga sekarang berbagai lembaga keuangan baik bank maupun non-bank berusaha menampilkan produk-produk islam. Tidak hanya di Indonesia, bahkan sekarang dunia secara tidak langsung terbagi atas dua ilmu ekonomi, yaitu ekonomi konvensional dan ekonomi islam.

Sebenarnya, penyebutan "ekonomi konvensional" ini marak disebutkan ketika ekonomi islam mulai merajalela yang mana sebelumnya masih kita sebut "ekonomi". Kata ekonomi sendiri berasal dari dua suku kata, yaitu oikos (rumah tangga) dan nomos (aturan) yang mana bila disatukan berarti "aturan rumah tangga". Jika dilihat devinisinya bahwa ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya mencapai kemakmuran. Sedangkan ekonomi islam memiliki devinisi yang berbeda, yaitu suatu kegiatan ekonomi yang dilakukan manusia untuk mencapai kemaslahatan bersama juga untuk mencapai falah dunia dan akhirat. Maksudnya ialah ekonomi islam dalam kegiatan ekonominya bertujuan untuk mencapai kemakmuran (maslahah) bersama dan tidak hanya itu, ekonomi islam juga berpikir panjang bagaimana mencapai kejayaan (falah) dunia dan akhirat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan ekonomi konvensional yang tidak lain tujuan utamanya mencapai kesejahteraan semata. Padahal jika kita sedikit teliti tolak ukur untuk mencapai kesejahteraan setiap individu berbeda. Ada keluarga atau individu yang hidup sederhana merasa sudah sejahtera di lain pihak ada keluarga atau individu yang hidup berkecukupan tapi masih merasa kurang atau bahkan belum sejahtera.

Dalam kegiatan ekonomi itu sendiri tidak terlepas dari suatu permasalahan. Di ekonomi konvensional kita mengenal scarcity (kelangkaan), yaitu suatu permasalahan ekonomi yang disebabkan oleh kebutuhan manusia yang tidak terbatas sedang alat pemuas kebutuhan terbatas. Sedangkan dalam ilmu ekonomi islam tidak mengenal adanya scarcity (kelangkaan). Ini dikarenakan Tuhan dalam membuat segala sesuatunya di dunia ini tidak terbatas (bisa dilihat pada surat Al-Qamar (54):49). Lantas apa yang membuat masyarakat merasa alat pemuas kebutuhannya terbatas? Ekonomi islam  berpendapat bahwa ini bukan disebabkan oleh kelangkaan, melainkan beberapa diantaranya kurangnya kemampuan manusia dalam mengolah sumber daya yang ada dan pendistribusiannya yang masih belum merata, sehingga di beberapa daerah merasa komoditi yang mereka butuhkan menjadi terbatas. Ini berbeda dengan ekonomi konvensional yang mengatakan bahwa seolah-olah sumber daya yang ada di alam terbatas untuk kebutuhan hidup manusia. Selain itu dalam ekonomi konvensional dikenal bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas yang berarti manusia secara tidak langsung akan memenuhi hawa nafsunya atas apa yang diinginkannya. Sangat tidak berbanding lurus tentunya karena yang disebut kebutuhan adalah sesuatu yang pokok, yang harus dipenuhi, yang mana jika tidak dipenuhi akan mengganggu kelangsungan hidup manusia.

Bila kita memperhatikan dari berbagi teori ilmu ekonomi konvensional ada satu hal yang kurang, yaitu tidak dimasukkannya elemen nilai dan norma. Sehingga kita tidak jarang melihat banyaknya saling sikut yang tidak sehat entah itu dalam memasarkan produknya, menarik minat konsumen, bahkan tidak sedikit yang menipu konsumen agar mendapat keuntungan yang besar. Disinilah ekonomi islam membuat perbedaan yang cukup signifikan sekaligus sulit untuk diterapkan dewasa ini. Hal ini disebabkan masih terjebaknya masyarakat sekarang akan pemikiran lama yang mengatakan dengan modal sekecil-kecilnya meraih hasil yang sebesar-besarnya. Sebenarnya hal yang demikian tidaklah salah, hanya saja pada praktiknya mereka terlalu mengejar keuntungan tanpa memikirkan kualitas barang yang diproduksi serta tidak memikirkan dampak bagi konsumen. Jika hal ini terus terjadi bangsa ini tidak akan terlepas dari kondisi seperti ini dimana para produsen tidak berlaku jujur dengan menjual ayam tiren misalnya yang tentunya akan merugikan konsumen dan mendatangkan mudarat (kerugian) bagi yang mengonsumsinya.

Memang bukan sesuatu yang mudah menerapkan ekonomi islam 100% dengan ciri khas yang demikian. Tapi, setidaknya dengan adanya ilmu ekonomi islam di negeri ini membuat kita kembali mengevaluasi diri apakah sistem ekonomi yang telah diterapkan sekarang ini sudah benar? Apakah sistem ekonomi yang ada sekarang ini sudah cukup mampu untuk memecahkan problematika ekonomi bangsa ini? Inilah tantangan besar yang akan kita hadapi terutama untuk generasi mendatang dimana masih banyak dibutuhkan tenaga dalam mengembangkan ekonomi islam ini sehingga kedepannya diharapkan ekonomi islam tidak sekedar dijadikan suatu produk melainkan menjadi the truly islamic banking which can help to solve economic problems in this country.


-Himawan Yusuf Wibisono (Sony)-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar